Untuk mengendalikan hama C. binotalis, pada umumnya petani kubis di Indonesia melakukan pemberantasan secara kimiawi. Petani melakukan penyemprotan dengan insektisida kimia sintetik satu kali dalam 2-3 hari. Kadang-kadang petani masih melakukan penyemprotan pada kubis yang siap dipanen, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap konsumen dan lingkungan.
Untuk menghindari dampak negatif penggunaan insektisida tersebut, perlu terus dicari alternatif pengendaliannya. Diantaranya, pengendalian dengan menggunakan musuh alami (pengendalian secara biologi) seperti penggunaan bakteri Bacillus thuringiensis.
Apa yang menyebabkan bakteri ini dapat memberantas hama? Ternyata, menurut hasil penelitian beberapa ahli, di dalam bakteri ini terkandung suatu kristal protein yang bersifat toksin (racun). Seluruh kristal protein bakteri hanya bersifat toksik apabila termakan oleh larva serangga. Setelah masuk kedalam saluran pencernaan serangga, toksin akan menimbulkan gangguan pada berbagai fungsi metabolik dan akhirnya serangga mati. Kematian akan terjadi satu jam hingga empat atau lima hari setelah toksin masuk dalam saluran pencernaan serangga.
Tanda-tanda awal serangan bakteri pada serangga, yaitu aktifitas makan serangga menurun bahkan dapat berhenti. Serangga menjadi lemah dan kurang tangggap terhadap sentuhan. Setelah mati, serangga kelihatan berwarna coklat tua atau hitam. Kadang-kadang infeksi atau pemberian bakteri tidak mematikan larva. Larva kadang-kadang masih mampu bertahan hidup dan berhasil menjadi pupadan serangga dewasa. Akan tetapi serangga dewasa yang erbentuk biasanya berukuran kecil, cacat, masa hidupnya lebih pendek dan mandul.
Menurut hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri B. thuringiensis mempunyai peluang untuk dikembangkan sebagai bioinsektisida (insektisida alami) untuk mengendalikan hama C. binotalis pada tanaman kubis.